Selasa, 06 Juni 2017

Revisi makalah: subjek, objek dan materi dakwah


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dahulu, tugas pokok Rasulullah saw adalah berdakwah mengajak manusia untuk mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Allah  yang mengutusnya. Tetapi setelah Rasulullah wafat, para sahabatlah yang melanjutkan dakwah Rasulullah sampai umat-umatnya saat ini. Orang-orang yang menyampaikan ajaran Allah kepada sesamanya itu disebut da’i atau muballigh. Mereka itulah orang-orang terpilih untuk melanjutkan dakwah Rasulullah dan para sahabat yang berfokus pada Al Qur’an dan hadits. Tugas utama para da’i atau muballigh adalah mengajak anggota masyarakat mulai dari kaum kerabat dekatnya ke jalan yang benar, bukan mengajaknya ke jalan yang mungkar. Sebab saat ini banyak sekali fenomena, orang-orang yang mengakui dirinya sebagai da’i yang handal, mempunyai banyak pengetahuan agama, dan sebagai pemimpin dakwah yang mengajarkan manusia tentang kebenaran Islam tetapi sesungguhnya dia telah menyelewengkan agama.

Dengan fenomena diatas, kami akan membahas tentang subjek dakwah sebagai bahan presentasi kami yang akan dilaksanakan dengan bahan kajian pengertian subjek, obyek dan materi dakwah.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut?

a.       Apa pengertian dari subjek dakwah (da’i)?

b.      Apa pengertian dari obyek dakwah (da’i)?

c.        Apa pengertian dari materi dakwah (da’i)?

C.     Tujuan Masalah

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

a.       Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian subjek dakwah (da’i).

b.      Untuk mengetahui dan menjelaskan byek  dakwah (da’i).

c.       Untuk mengetahui dan menjelaskan materi dakwah (da’i).





BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Subyek Dakwah

            Salah satu hal terpenting dalam dakwah adalah memahami siapa pelaku (subyek), objek dan ladang garap (materi) dakwah. Ini berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan cara dakwah yang akan ditempuh.Subjek dakwah adalah pelaku dakwah. Faktor subjek dakwah sangat menentukan keberhasilan aktivitas dakwah. Maka subjek dakwah dalam hal ini da’i atau lembaga dakwah hendaklah mampu menjadi penggerak dakwah yang profesional. Baik gerakan dakwah yang dilakukan oleh individual maupun kolektif, profesionalisme amat dibutuhkan, termasuk profesionalisme lembaga-lembaga dakwah.

            Da’i adalah subyek dakwah sebagai pelaksana dari pada kegiatan dakwah, baik perorangan atau individu maupun bersama-sama yang terorganisir. Dengan demikian da’i atau mubaligh sebagai komunikator, penerus dakwah Rasul, sudah barang tentu usahanya tidak hanya menyampaikan pesan semata-mata, tetapi da’i harus mengerti dan memahami dari efek komunikasinya terhadap komunikan, maka setiap mubaligh harus mampu mengidentifisir dirinya sebagai pemimpin dari kelompok atau jamaahnya. Di samping itu juga sebagai seorang pelaku utama untuk mempengaruhi perubahan sikap dari komunikanya, yang dikenal dengan “agent of change”.[1]

            Kata da’i berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang mengajak. Dalam ilmu komunikasi disebut komunikator. Di Indonesia, da’i juga dikenal dengan sebutan lain seperti muballigh, ustadz, kiai, ajengan, syaikh, dan lain-lain. Hal ini didasarkan atas tugas dan eksistensinya sama seperti da’i. Padahal hakikatnya tiap-tiap sebutan tersebut memiliki kadar kharisma dan keilmuan yang berbeda-beda dalam pemahaman masyarakat Islam di Indonesia.

            Dalam pengertian yang khusus (pengertian islam), da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan kata-kata, perbuatan, atau tingkah laku ke arah kondisi yang baik atau lebih baik menurut syariat Al Qur’an dan Sunnah. Dalam pengertian khusus tersebut da’i identik dengan orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.[2]

            Tugas juru dakwah adalah mengajak dan menyeru kepada manusia supaya manusia itu mau mengikuti petunjuk Allah dan hidup menurut ajaran agama Islam. Adapun manusia itu menerima petunjuk dan mengikuti ajakanya ataupun seruan da’i, hal itu adalah uruusan Allah.

فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ ۚ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ.

            Artinya:   Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. jika mereka masuk Islam, Sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran [2] : 20).

            Seoarang da’i dituntut untuk memiliki pengetahuan agama yang luas, agar pesan dalam dakwah itu dapat dengan tepat dan cermat sampai pada orang yang menerimanya. Selain itu pengetahuan kemasyarakatan dan inforamasi umum yang aktual juga harus menjadi konsunsi para da’i. Lebih dari itu dituntut pula persyaratan untuk memiliki sifat-sifat mulia, watak yang luhur dan bukti perbuatan nyata.[3]

            Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para pakar dalam bidang dakwah, yaitu:

a.       A. Hasyimi menyatakan juru dakwah adalah penasihat, para pemimpin dan pemberi ingat yang memeberi nasihat dengan niat baik yang mengarah dan berkhotbah yang memusatkan jiwa dan raganya dalam wa’at (berita gembira) dan wa’id (berita siksa).

b.      Nasaraddin Lathief mendefinisikan bahwa da’i ialah muslim dan muslimat yang menyeru, mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran agama islam.[4]

Pada dasarnya semua pribadi Muslim itu berperan secara otomatis sebagai mubaligh atau orang yang menyampaikan atau dalam bahasa komunikasi dikenal sebagai komunikator. Setiap orang yang menjalankan aktivitas dakwah, hendaklah memiliki kepribadian yang baik sebagai seorang da’i. Hal ini karena seorang da’i adalah figur yang dicontoh dalam segala tingkah laku dan geraknya. Oleh karenanya, ia hendaklah menjadi uswatun hasanah bagi masyaraktnya.

              Di tengah masyarakat, da’i memiliki kedudukan yang penting sebab ia adalah seorang pemuka (pelopor) yang selalu diteladani oleh masyarakat. Perbuatan dan tingkah lakunya selalu dijadikan tolak ukur oleh masyarakatnya. Ia adalah seorang pemimpin di tengah masyarakat walau tidak pernah dinobatkan resmi sebagai pemimpin. Kemunculan da’i sebagai pemimpin adalah atas pengakuan masyarakat yang tumbuh secara bertahap.

            Dari kedudukannya yang sangat penting di tengah masyarakat, seseorang da’i harus mampu menciptakan jalinan komunikasi yang erat antara dirinya dan masyarakat. Ia harus mampu berbicara dengan masyarakatnya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Oleh karena itu, seorang pelaku dakwah harus mengetahui dengan pasti tentang latar belakang dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.[5]

B.     Objek dakwah

Sebagai sasaran dakwah adalah manusia sebagai pribadi atau individu maupun anggota masyarakat. Manusia sebagai individu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri terdiri dari atau terbentuk dari para individu. Antara individu dengan masyarakat terjadi hubungan timbal balik, saling mengisi, saling membentuk dan saling mempengaruhi.

Dakwah merupakan aktifitas lanjutan tugas Rasulullah SAW, sehingga obyek yang dituju juga sasaran risalah Rasulullah SAW, yakni seluruh umat manusia tanpa terkecuali, baik pria maupun wanita, beragama maupun tidak beragama, pemimpin maupun rakyat biasa, mereka disebut mad’u atau penerima dakwah.[6]

              Seorang da’i juga harus tahu apa yang disajikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah untuk memberikan solusi, terhadap problema yang dihadapi manusia, juga metode-metode yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran dan perilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng. Firman Allah dalam QS An Nahl (43):

وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّرِجَالاًنُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْاَلُوااَهْلَ الذَّ كْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ.

Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengethuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An-Nahl: 43).

Al-Quran telah menyebutkan berbagai teknik atau metode dakwah yang sesuai dengan karakter manusia. Yaitu dengan hikmah, dengan nasehat yang baik, dengan dialog yang baik, dan dengan kekuatan. Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus sesuai dengan urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di samping itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil yang efektif dan semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.

Selain metode seorang da’i juga harus mengetahui kondisi masyarakat yang menerima.   Dilihat dari segi intelektualitas. Sebuah mayarakat dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yakni :[7]

a.       Kaum cendikiawan. Kelompok ini pada umumnya mudah menerima kebenaran, karena itu pendekatan dakwah yang tepat bagi mereka adalah cukup dengan menggunakan ilmu, amal, dan penjelasan aqidah. Kaum yang mengakui dan menerima kebenaran, tapi mereka sering kali lupa dan mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini umumnya sulit untuk menerima dan mengikuti kebenaran. Cara dakwah yang tepat untuk  mereka adalah dengan menggunakan nasehat yang baik, termasuk di dalamnya pemberian motivasi dan ancaman.

b.      Kaum yang keras hati (penentang) orang-orang yang semacam ini harus dihadapi dengan mujadalah yang baik. Kaum penentang dan zhalim. Untuk menghadapi mereka pertama-tama kita gunakan teknik bermujadallah secara baik. Namun jika cara ini tidak berhasil maka kita boleh menggunakan kekuatan Rasulullah senantiasa menggunakan ilmu sesuatu dengan situasi dan kondisi masyarakat penerimanya. Begitupun nasihat, mujadallah dan kekuatan selalu beliau lakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam kehidupan bermasyarakat kita sebagai umat Islam tidak bisa mengelak untuk berhubungan dengan umat lain. Dalam pandangan syariat Islam, non muslim itu bisa di klasifikasikan menjadi dua macam, yaitu kafir harbi (ahlul harb) dan kafir zimmi (ahlu zimmah).

Kafir harbi adalah orang-orang kafir yang sedang terlibat pertempuran dengan muslimin. Darah mereka halal untuk di tumpahkan sebagaimana mereka pun punya hak untuk membunuh muslimin. Hubungan antara ahlul harb dengan muslimin memang hubungan bunuh membunuh di dalam wilayah konflik. Sedangkan kafir zimmi adalah non muslim yang aman, tidak menganggu pihak muslim.

            Tampak bahwa pembagian di atas, kedua klasifikasi sangat tajam bedanya. Pada kenyataanya hubungan dengan non muslim tidak dapat dibedakan setajam itu. Berbagi variasi derajat ke-dzimmi-an terjadi pada masa kini. Ada yang 100% aman, ada yang kadang-kadang mengganggu ketentaraman orang Islam, sampai ada yang terang-terangan memusuhi umat Islam (harbi).

Shalahudin Sanusi juga membagi orang-orang yang menjadi obyek kedalam beberapa aspek berikut ini.[8]

a.       Biologis

Dapat dibagi kepada menurut jenis kelamin yaitu laki-laki dan wanita, menurut umur yaitu anak-anak, pemuda dan orang tua.

b.      Geografis

Digolongkan kepada masyarakat desa dan kota.

c.       Ekonomi

Dapat digolongkan menurut keadaan perekonomian, tingkat kekayaan dan pendapatanya kepada orang kaya, orang sedang dan orang miskin.

d.      Agama

Digolongkan kepada orang Islam dan bukan Islam.

e.       Pendidikan

Dapat digolongkan kepada orang yang berpendidikan tinggi, menengah dan rendah.

f.        Pekerjaan

Dapat dikategorikan kepada golongan buruh, petani, pengusaha, pegawai, seniman dan militer.

g.      Kelompok

Kelompok ini terdiri dari pada kelompok primer ke kelompok sekunder dan kelompok tertier. Kelompok primer adalah keluarga, kelompok sepermainan dan tetangga. Kelompok sekunder seperti organisasi petani dan sebagainya.

C.     Maddah (materi) Dakwah

Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada mad’u. Sumber utamanya adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang meliputi aqidah, syari’ah, muamalah, dan akhlaq dengan berbagai macam cabang ilmu yang diperoleh darinya.

Materi yang disampaikan oleh seorang da’i harus cocok dengan bidang keahliannya, juga harus cocok dengan metode dan media serta objek dakwahnya. Dalam hal ini, yang menjadi maddah (materi) dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri.[9]

Secara umum, materi dakwah diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok, yaitu :

1.      Masalah Akidah (keimanan)

Ciri-ciri yang membedakan aqidah dengan kepercayaan agama lain, yaitu:

a.       Keterbukaan melalui persaksian (syahadat).

b.       Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam.

c.        Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.[10]

2.      Masalah Syari’ah

Hukum atau syari’ah sering disebut sebagai cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya.[11]

3.      Masalah Muamalah

Islam merupakan agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT.

Statement ini dapat dipahami dengan alasan :

a.       Dalam al-Qur’an dan al-Hadits mencakup proporsi terbesar sumber hukum yang berkaitan dengan urusan muamalah.

b.      Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan.

c.       Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.[12]

4.      Masalah Akhlaq

Ajaran akhlaq dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik dengan ukuran yang bersumber dari Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti dinilai baik oleh manusia sehingga harus dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari.

Namun secara global dapatlah dikatakan bahwa materi dakwah dapat diklafikasikan menjadi tiga hal pokok, yaitu:[13].

1.       Masalah keimanan (aqidah)

Keimanan dalam islam adalah bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Yang meliputi :

a.       Iman kepada Allah.

b.      Iman kepada malaikat-Nya.

c.       Iman kepada kitab-kitab-Nya.

d.       Iman kepada kepada rasul-rasul-Nya.

e.       Iman kepada hari akhir.

f.        Iman kepada qadha dan qodar.

Di bidang aqidah ini bukan saja pembahasanya tertuju pada masalah-masalah yang wajib di imani, akan tetapi materi dakwah meliputi juga masalah yang dilarang sebagai lawanya meliputi:

a.       Syirik (menyekutukan adanya tuhan).

b.       Inkar dengan adanya tuhan.

2.    Masalah keislaman (syariah)

Syariah dalam islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan/hukum Allah guna mengatur hubungan antara manusia dengan tuhanya dan mengatur pergaulan hidup antara sesama manusia. Yang meliputi :

a.       Ibadah (dalam arti khas) :

1.      Thaharah.

2.       Shalat.

3.       Zakat.

4.      Shaum.

5.       Haji.

b.      Muamalah dalam arti luas :

1.      Al-Qununul khas (hukum perdata).

a)      Muamalah (hukum niaga).

b)      Munakahat (hukum nikah).

c)      Waratsah (hukum waris).

2.      Al-Qununul ‘am (hukum publik).

a)      Hinayah ((hukum pidana).

b)       Khilafah (hukum negara).

c)       Jihad (hukum perang dan damai).

3.      Masalah budi pekerti (akhlakul karimah)

Masalah akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah keimanan dan keislaman, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna keimanan dan keislaman. Yang meliputi :

a.       Akhlaq terhadap khaliq.

b.      Akhlaq terhadap makhluk, yang meliputi :

1.      Akhlaq terhadap manusia.

a)      Diri sendiri.

b)      Tetangga.

c)      Masyarakat.

2.      Akhlaq terhadap bukan manusia..

a)      Flora.

b)      Fauna[14].[15]



















































BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

a.       Da’i adalah subyek dakwah sebagai pelaksana dari pada kegiatan dakwah, baik perorangan atau individu maupun bersama-sama yang terorganisir.

b.      Sebagai sasaran dakwah adalah manusia sebagai pribadi atau individu maupun anggota masyarakat. Manusia sebagai individu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri terdiri dari atau terbentuk dari para individu. Antara individu dengan masyarakat terjadi hubungan timbal balik, saling mengisi, saling membentuk dan saling mempengaruhi.

c.       Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada mad’u. Sumber utamanya adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang meliputi aqidah, syari’ah, muamalah, dan akhlaq dengan berbagai macam cabang ilmu yang diperoleh darinya.



DAFTAR PUSTAKA  

·         Amiu, Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah, Jakarta: AMZAH

·         Ali, Said. 1994,  Dakwah Islam Dakwah Bijak, Jakarta: Gema Insani Press.

·         H. Anwar, Masy’ari. 1993, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiah, Surabaya: Bina Ilmu.

·         Saifuddin, Endang, 966, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta

·         Sanusi, Salahuddin. 2001. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam, (Solo: Ramadani)

·         Tasmara, Toto Komunikasi Dakwah..., Jakarta, Gaya Media Pratama

·         Yusuf, Yunan. 2006 Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana.

·         Yusuf, Yunan. 2006 Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana.





[1] Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah...,  ( Jakarta: Gaya Media Pratama), hal. 84
[2] Ibid,
[3] H. Masy’ari Anwar, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal. 174.
[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 68.
[5] Ibid, hal. 69.
[6] H. Masy’ari Anwar, op, cit,  hal. 66.
[7] Said Bin Ali,  Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 387.
[8] Salahuddin Sanusi, Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam, (Solo: Ramadani, 2001), hal. 99.
[9] Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), hal, 26.
[10] Ibid, hal 26
[11] Ibid,
[12] Ibid,


[15] Endang Saifuddin. Wawasan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1966),  hal. 71
;

1 komentar:

  1. Review of casino site 2021【WG】all your favorite games
    All the games at an online casino will be available in one or more of your favourite languages. Some febcasino software developers may kadangpintar choose 카지노 to use English and

    BalasHapus

Revisi makalah: subjek, objek dan materi dakwah

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Dahulu, tugas pokok Rasulullah saw adalah berdakwah mengajak manusia untuk mengikuti aj...