BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dahulu, tugas
pokok Rasulullah saw adalah berdakwah mengajak manusia untuk mengikuti
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Allah
yang mengutusnya. Tetapi setelah Rasulullah wafat, para sahabatlah yang
melanjutkan dakwah Rasulullah sampai umat-umatnya saat ini. Orang-orang yang
menyampaikan ajaran Allah kepada sesamanya itu disebut da’i atau muballigh.
Mereka itulah orang-orang terpilih untuk melanjutkan dakwah Rasulullah dan para
sahabat yang berfokus pada Al Qur’an dan hadits. Tugas utama para da’i atau
muballigh adalah mengajak anggota masyarakat mulai dari kaum kerabat dekatnya
ke jalan yang benar, bukan mengajaknya ke jalan yang mungkar. Sebab saat ini
banyak sekali fenomena, orang-orang yang mengakui dirinya sebagai da’i yang
handal, mempunyai banyak pengetahuan agama, dan sebagai pemimpin dakwah yang
mengajarkan manusia tentang kebenaran Islam tetapi sesungguhnya dia telah
menyelewengkan agama.
Dengan fenomena
diatas, kami akan membahas tentang subjek dakwah sebagai bahan presentasi kami
yang akan dilaksanakan dengan bahan kajian pengertian subjek, obyek dan materi
dakwah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang diatas kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut?
a.
Apa
pengertian dari subjek dakwah (da’i)?
b.
Apa
pengertian dari obyek dakwah (da’i)?
c.
Apa pengertian dari materi dakwah (da’i)?
C.
Tujuan
Masalah
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
a.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan pengertian subjek dakwah (da’i).
b.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan byek dakwah
(da’i).
c.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan materi dakwah (da’i).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Subyek Dakwah
Salah satu hal terpenting dalam
dakwah adalah memahami siapa pelaku (subyek), objek dan ladang garap (materi)
dakwah. Ini berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan cara dakwah yang
akan ditempuh.Subjek dakwah adalah pelaku dakwah. Faktor subjek dakwah sangat
menentukan keberhasilan aktivitas dakwah. Maka subjek dakwah dalam hal ini da’i
atau lembaga dakwah hendaklah mampu menjadi penggerak dakwah yang profesional.
Baik gerakan dakwah yang dilakukan oleh individual maupun kolektif,
profesionalisme amat dibutuhkan, termasuk profesionalisme lembaga-lembaga
dakwah.
Da’i adalah subyek dakwah sebagai
pelaksana dari pada kegiatan dakwah, baik perorangan atau individu maupun
bersama-sama yang terorganisir. Dengan demikian da’i atau mubaligh sebagai
komunikator, penerus dakwah Rasul, sudah barang tentu usahanya tidak hanya
menyampaikan pesan semata-mata, tetapi da’i harus mengerti dan memahami dari
efek komunikasinya terhadap komunikan, maka setiap mubaligh harus mampu
mengidentifisir dirinya sebagai pemimpin dari kelompok atau jamaahnya. Di
samping itu juga sebagai seorang pelaku utama untuk mempengaruhi perubahan
sikap dari komunikanya, yang dikenal dengan “agent of change”.[1]
Kata da’i berasal dari
bahasa Arab yang berarti orang yang mengajak. Dalam ilmu komunikasi disebut
komunikator. Di Indonesia, da’i juga dikenal dengan sebutan lain seperti
muballigh, ustadz, kiai, ajengan, syaikh, dan lain-lain. Hal ini didasarkan atas
tugas dan eksistensinya sama seperti da’i. Padahal hakikatnya tiap-tiap sebutan
tersebut memiliki kadar kharisma dan keilmuan yang berbeda-beda dalam pemahaman
masyarakat Islam di Indonesia.
Dalam pengertian yang khusus
(pengertian islam), da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik
secara langsung atau tidak langsung dengan kata-kata, perbuatan, atau tingkah
laku ke arah kondisi yang baik atau lebih baik menurut syariat Al Qur’an dan
Sunnah. Dalam pengertian khusus tersebut da’i identik dengan orang yang
melakukan amar ma’ruf nahi munkar.[2]
Tugas juru dakwah adalah mengajak
dan menyeru kepada manusia supaya manusia itu mau mengikuti petunjuk Allah dan
hidup menurut ajaran agama Islam. Adapun manusia itu menerima petunjuk dan
mengikuti ajakanya ataupun seruan da’i, hal itu adalah uruusan Allah.
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ
اتَّبَعَنِ ۗ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ
أَأَسْلَمْتُمْ ۚ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ.
Artinya: Kemudian jika
mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: “Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku”. dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al kitab dan
kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. jika mereka
masuk Islam, Sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka
berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan
Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran [2] : 20).
Seoarang da’i dituntut untuk memiliki
pengetahuan agama yang luas, agar pesan
dalam dakwah itu dapat dengan
tepat dan cermat sampai pada orang yang menerimanya. Selain itu pengetahuan kemasyarakatan dan
inforamasi umum yang aktual juga harus menjadi konsunsi para da’i. Lebih
dari itu dituntut pula persyaratan untuk memiliki sifat-sifat mulia, watak yang
luhur dan bukti perbuatan nyata.[3]
Sehubungan dengan hal tersebut
terdapat pengertian para pakar dalam bidang dakwah, yaitu:
a.
A. Hasyimi
menyatakan juru dakwah adalah penasihat, para pemimpin dan pemberi ingat yang
memeberi nasihat dengan niat baik yang mengarah dan berkhotbah yang memusatkan
jiwa dan raganya dalam wa’at (berita gembira) dan wa’id (berita siksa).
b.
Nasaraddin Lathief
mendefinisikan bahwa da’i ialah muslim dan muslimat yang menyeru, mengajak dan
memberi pengajaran dan pelajaran agama islam.[4]
Pada dasarnya semua
pribadi Muslim itu berperan secara otomatis sebagai mubaligh atau orang yang
menyampaikan atau dalam bahasa komunikasi dikenal sebagai komunikator. Setiap
orang yang menjalankan aktivitas dakwah, hendaklah memiliki kepribadian yang
baik sebagai seorang da’i. Hal ini karena seorang da’i adalah figur yang
dicontoh dalam segala tingkah laku dan geraknya. Oleh karenanya, ia hendaklah
menjadi uswatun hasanah bagi masyaraktnya.
Di tengah masyarakat,
da’i memiliki kedudukan yang penting sebab ia adalah seorang pemuka (pelopor)
yang selalu diteladani oleh masyarakat. Perbuatan dan tingkah lakunya selalu
dijadikan tolak ukur oleh masyarakatnya. Ia adalah seorang pemimpin di tengah
masyarakat walau tidak pernah dinobatkan resmi sebagai pemimpin. Kemunculan
da’i sebagai pemimpin adalah atas pengakuan masyarakat yang tumbuh secara
bertahap.
Dari kedudukannya yang
sangat penting di tengah masyarakat, seseorang da’i harus mampu menciptakan
jalinan komunikasi yang erat antara dirinya dan masyarakat. Ia harus mampu
berbicara dengan masyarakatnya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Oleh karena
itu, seorang pelaku dakwah harus mengetahui dengan pasti tentang latar belakang dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya.[5]
B.
Objek dakwah
Sebagai sasaran dakwah adalah manusia sebagai pribadi atau individu maupun anggota masyarakat. Manusia sebagai
individu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sedangkan masyarakat itu
sendiri terdiri dari atau terbentuk dari para individu. Antara individu dengan
masyarakat terjadi hubungan timbal balik, saling mengisi, saling membentuk dan
saling mempengaruhi.
Dakwah merupakan aktifitas lanjutan tugas Rasulullah SAW, sehingga obyek
yang dituju juga sasaran risalah Rasulullah SAW, yakni seluruh umat manusia
tanpa terkecuali, baik pria maupun wanita, beragama maupun tidak beragama,
pemimpin maupun rakyat biasa, mereka disebut mad’u atau penerima dakwah.[6]
Seorang da’i juga harus
tahu apa yang disajikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan kehidupan,
serta apa yang dihadirkan dakwah untuk memberikan solusi, terhadap problema
yang dihadapi manusia, juga metode-metode yang dihadirkannya untuk menjadikan agar
pemikiran dan perilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng. Firman Allah
dalam QS An Nahl (43):
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّرِجَالاًنُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْاَلُوااَهْلَ
الذَّ كْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ.
Artinya: “Dan kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengethuan
jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An-Nahl: 43).
Al-Quran telah
menyebutkan berbagai teknik atau metode dakwah yang sesuai dengan karakter
manusia. Yaitu dengan hikmah, dengan nasehat yang baik, dengan dialog yang
baik, dan dengan kekuatan. Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus
sesuai dengan urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Di samping itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil
yang efektif dan semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.
Selain metode
seorang da’i juga harus mengetahui kondisi masyarakat yang menerima. Dilihat dari segi intelektualitas. Sebuah
mayarakat dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yakni :[7]
a.
Kaum
cendikiawan. Kelompok ini pada umumnya mudah menerima kebenaran, karena itu
pendekatan dakwah yang tepat bagi mereka adalah cukup dengan menggunakan ilmu,
amal, dan penjelasan aqidah. Kaum yang mengakui dan menerima kebenaran, tapi
mereka sering kali lupa dan mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini umumnya sulit
untuk menerima dan mengikuti kebenaran. Cara dakwah yang tepat untuk
mereka adalah dengan menggunakan nasehat yang baik, termasuk di dalamnya
pemberian motivasi dan ancaman.
b.
Kaum
yang keras hati (penentang) orang-orang yang semacam ini harus dihadapi dengan
mujadalah yang baik. Kaum penentang dan zhalim. Untuk menghadapi mereka
pertama-tama kita gunakan teknik bermujadallah secara baik. Namun jika cara ini
tidak berhasil maka kita boleh menggunakan kekuatan Rasulullah senantiasa
menggunakan ilmu sesuatu dengan situasi dan kondisi masyarakat penerimanya.
Begitupun nasihat, mujadallah dan kekuatan selalu beliau lakukan secara tepat
sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam kehidupan
bermasyarakat kita sebagai umat Islam tidak bisa mengelak untuk berhubungan
dengan umat lain. Dalam pandangan syariat Islam, non muslim itu bisa di
klasifikasikan menjadi dua macam, yaitu kafir harbi (ahlul harb) dan
kafir zimmi (ahlu zimmah).
Kafir harbi
adalah orang-orang kafir yang sedang terlibat pertempuran dengan muslimin.
Darah mereka halal untuk di tumpahkan sebagaimana mereka pun punya hak untuk
membunuh muslimin. Hubungan antara ahlul harb dengan muslimin memang hubungan
bunuh membunuh di dalam wilayah konflik. Sedangkan kafir zimmi adalah
non muslim yang aman, tidak menganggu pihak muslim.
Tampak bahwa pembagian di atas,
kedua klasifikasi sangat tajam bedanya. Pada kenyataanya hubungan dengan non
muslim tidak dapat dibedakan setajam itu. Berbagi variasi derajat ke-dzimmi-an
terjadi pada masa kini. Ada yang 100% aman, ada yang kadang-kadang mengganggu
ketentaraman orang Islam, sampai ada yang terang-terangan memusuhi umat Islam
(harbi).
Shalahudin Sanusi juga membagi orang-orang yang menjadi obyek
kedalam beberapa aspek berikut ini.[8]
a. Biologis
Dapat dibagi kepada menurut jenis kelamin yaitu laki-laki dan
wanita, menurut umur yaitu anak-anak, pemuda dan orang tua.
b.
Geografis
Digolongkan kepada masyarakat desa dan kota.
c.
Ekonomi
Dapat digolongkan menurut keadaan perekonomian, tingkat kekayaan dan
pendapatanya kepada orang kaya, orang sedang dan orang miskin.
d.
Agama
Digolongkan kepada orang Islam dan bukan Islam.
e.
Pendidikan
Dapat digolongkan kepada orang yang berpendidikan tinggi, menengah dan
rendah.
f.
Pekerjaan
Dapat dikategorikan kepada golongan buruh, petani, pengusaha, pegawai,
seniman dan militer.
g.
Kelompok
Kelompok ini terdiri dari pada kelompok primer ke kelompok sekunder dan
kelompok tertier. Kelompok primer adalah keluarga, kelompok sepermainan dan
tetangga. Kelompok sekunder seperti organisasi petani dan sebagainya.
C.
Maddah (materi)
Dakwah
Maddah dakwah adalah
isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada mad’u. Sumber utamanya
adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang meliputi aqidah, syari’ah, muamalah, dan
akhlaq dengan berbagai macam cabang ilmu yang diperoleh darinya.
Materi yang disampaikan oleh seorang da’i harus
cocok dengan bidang keahliannya, juga harus cocok dengan metode dan media serta
objek dakwahnya. Dalam hal ini, yang menjadi maddah (materi) dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri.[9]
Secara umum, materi dakwah diklasifikasikan
menjadi empat masalah pokok, yaitu :
1.
Masalah Akidah
(keimanan)
Ciri-ciri yang membedakan aqidah dengan
kepercayaan agama lain, yaitu:
a.
Keterbukaan melalui persaksian (syahadat).
b.
Cakrawala pandangan yang luas dengan
memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam.
c.
Ketahanan antara iman dan Islam atau antara
iman dan amal perbuatan.[10]
2.
Masalah Syari’ah
Hukum atau syari’ah sering disebut sebagai cermin
peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna maka
peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya.[11]
3.
Masalah Muamalah
Islam merupakan
agama yang menekankan urusan muamalah
lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan
dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT.
Statement ini
dapat dipahami dengan alasan :
a.
Dalam al-Qur’an dan al-Hadits mencakup proporsi
terbesar sumber hukum yang berkaitan dengan urusan muamalah.
b.
Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan
diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan.
c.
Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapatkan ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.[12]
4.
Masalah Akhlaq
Ajaran
akhlaq dalam Islam pada dasarnya
meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi
kejiwaannya. Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik dengan ukuran
yang bersumber dari Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti dinilai baik oleh manusia sehingga
harus dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari.
Namun secara
global dapatlah dikatakan bahwa materi dakwah dapat diklafikasikan menjadi tiga
hal pokok, yaitu:[13].
1. Masalah keimanan (aqidah)
Keimanan dalam islam adalah bersifat I’tiqad bathiniyah yang
mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Yang meliputi :
a. Iman kepada Allah.
b. Iman kepada malaikat-Nya.
c. Iman kepada kitab-kitab-Nya.
d. Iman kepada kepada rasul-rasul-Nya.
e. Iman kepada hari akhir.
f.
Iman kepada qadha dan qodar.
Di bidang aqidah ini bukan saja pembahasanya tertuju pada
masalah-masalah yang wajib di imani, akan tetapi materi dakwah meliputi juga
masalah yang dilarang sebagai lawanya meliputi:
a.
Syirik (menyekutukan adanya tuhan).
b. Inkar dengan adanya tuhan.
2. Masalah keislaman (syariah)
Syariah dalam islam adalah berhubungan erat dengan amal
lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan/hukum Allah guna mengatur
hubungan antara manusia dengan tuhanya dan mengatur pergaulan hidup antara
sesama manusia. Yang meliputi :
a. Ibadah (dalam arti khas) :
1.
Thaharah.
2. Shalat.
3. Zakat.
4. Shaum.
5. Haji.
b.
Muamalah dalam arti luas :
1.
Al-Qununul khas (hukum perdata).
a)
Muamalah (hukum niaga).
b)
Munakahat (hukum nikah).
c)
Waratsah (hukum waris).
2. Al-Qununul ‘am (hukum publik).
a)
Hinayah ((hukum pidana).
b)
Khilafah (hukum negara).
c)
Jihad (hukum perang dan damai).
3.
Masalah budi pekerti (akhlakul karimah)
Masalah akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi
dakwah) merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman
seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti
masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah keimanan dan
keislaman, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna keimanan dan
keislaman. Yang meliputi :
a.
Akhlaq terhadap khaliq.
b. Akhlaq terhadap makhluk, yang
meliputi :
1.
Akhlaq terhadap manusia.
a) Diri sendiri.
b) Tetangga.
c) Masyarakat.
2.
Akhlaq terhadap bukan manusia..
a) Flora.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Da’i
adalah subyek dakwah sebagai pelaksana dari pada kegiatan dakwah, baik
perorangan atau individu maupun bersama-sama yang terorganisir.
b.
Sebagai sasaran dakwah adalah manusia sebagai pribadi atau individu maupun anggota masyarakat. Manusia sebagai
individu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sedangkan masyarakat itu
sendiri terdiri dari atau terbentuk dari para individu. Antara individu dengan
masyarakat terjadi hubungan timbal balik, saling mengisi, saling membentuk dan
saling mempengaruhi.
c.
Maddah dakwah adalah
isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada mad’u. Sumber utamanya
adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang meliputi aqidah, syari’ah, muamalah, dan
akhlaq dengan berbagai macam cabang ilmu yang diperoleh darinya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Amiu,
Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah, Jakarta: AMZAH
·
Ali, Said. 1994, Dakwah Islam Dakwah
Bijak, Jakarta: Gema Insani Press.
·
H. Anwar,
Masy’ari. 1993, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiah, Surabaya: Bina Ilmu.
·
Saifuddin, Endang, 966, Wawasan Islam,
Rajawali, Jakarta
·
Sanusi,
Salahuddin. 2001. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam,
(Solo: Ramadani)
·
Tasmara, Toto Komunikasi Dakwah..., Jakarta, Gaya
Media Pratama
·
Yusuf, Yunan. 2006 Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana.
·
Yusuf, Yunan. 2006 Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana.
[2] Ibid,
[3] H.
Masy’ari Anwar, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiah, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1993), hal. 174.
[8] Salahuddin Sanusi,
Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam, (Solo: Ramadani, 2001),
hal. 99.
[12] Ibid,